Padang kata yang terbakar



Tuan-tuan yang terhormat
Kita berkumpul disini,
Semata-mata karena harapan
seperti tuan-tuan kehendaki secara alami
Harapan baik dan sejahtera
harapan umat manusia.
Saya hadir disini,
mewakili segenap perasaan, bakat dan indera
Sebagai tumpuan keselarasan alam semesta.

Ketahuilah tuan-tuan,
Di tanah tempat kita pijak
banyak orang datang dan pergi
semuanya berubah dengan pasti
siklus alam pancaroba
matahari setia di garis edarnya
hanya sengatnya yang kian tajam
Merubah perangai manusia dan alam
pepohonan meranggas...
perkebunan dan hutan sistem okupasi
semakin buas...
truk dan buldozer merayap ganas
membuka ladang-ladang baru
harapan hidup baru
orang kaya baru

Tuan-tuan pun telah tahu
negeri tempat kita pijak
cukup tehormat di mata dunia
ramah terhadap bangsa asing
namun gagal mengurus hak-hak nya
rasa ingin tahu di bonsai
compang-camping cara pikirnya
di batasi dalam kepintaran
Tetapi para pemimpin kami tetaplah terhormat
dan bangsa kami di kenal di seluruh dunia.

Barangkali cara pikir ini cukup melelahkan
tiga ratus lima puluh tahun tertindas
tapi mereka masih bisa tersenyum
potret kelam sepanjang sejarah
dokumen niaga ahli sejarah
Para petani masih juga keloni derita
sawah dan ladang jadi mimpi gelisah
mereka sibuk layani proyek amtenar kota
menginjak nasib petani di himpit resah
senyum eksportir semakin genit
cumbui gelombang industri pariwisata
tanah petani semakin sia-sia

Apakah asap kiriman Sumatra dan Kalimantan
potret sebenarnya ?
seperti nasib sequisa raksasa
etalase hutan mariposa
musim dan cuaca tergantung lobi kekuasaan
hutang luar negeri jadi imbangan
pemikir ekonomi digerus kecemasan
sementara solusi mereka
diselenggarakan rapat dewan kota yang terhormat

Kaum agraris hanya mampu
menatap awan
menatap kekosongan
yang bagi mereka tak berarti apa-apa
kecuali...
udara
mega-mega
sekelompok burung gereja
mencari rumahnya



Mataram, November 1997

Karena engkau perempuan,Sri

Karena engkau perempuan,Sri
maka aku terbujur
sepi..
lusuh....
Di ranjangmu berbau mimpi
kau renda malam
merajut masa silam
pahamu yang putih kau singkap
aku karam ke dasar sukmamu



Engkau bicara kasmaran
saat dosa bukan bagian dari rencana
ketidakberdayaan jiwaku tergadai
di atas ranjang gemerincing
lembaran-lembaran abad yang resah
keberuntungan dan bencana
teka-teki dunia
harapan negeri dongeng

Ya...ya...ya...aku tahu
setiap malam selalu kau tawarkan tembang lawas
ujung dari segala dahaga dunia
aku rengkuh demi penciptaan jiwa
desahmu bagai unggas betina
aku bagai serigala kelaparan
kau bakar

Di bawah bulan ku tutupi ketidakmampuan
senggamai peradaban
bermain cinta semalam suntuk
atau membuktikan bahwa cuaca
hari ini lebih baik ketimbang kemarin

Inilah kenyataannya,Sri
kenapa ketidakbedayaanku rebah
di sisi malam yang mempertautkan kita
meski tak saling kenal

Pertemuan ini bagai pertanyaan Resi Bisma
pada baik dan bathil
lantas apa bedanya?
belantara manusia tetap belantara kata-kata
yang akan terus mencari majikannya.

Karena engkau perempuan,Sri
saku jiwaku yang kian hampa
dinding bathinku tak berdaya
intuisiku membentur lemari pejabat dan arsip-arsip butut
asesoris setiap kebijaksanaan mereka
jantungku berserakkan di pasar loak
di tikam peradaban
ekonomi masih menjadi panglima
mereka berburu kepuasan di padang serigala
mereka berkejaran
Mengejar...

Bikinlah mereka terpana
tubuhmu mampu bersaing dengan pemodal asing
pasang tarip lantas kau senggol ekspor non migas
kayu jati tersipu dengan pinggulmu yang kencang
bikinlah pamor kaum agraris
cuaca yang cerah semerah bibirmu
geser citra non migas dan kayu jati sebagai komoditi

Dunia pasti terpana
terus terpana..


Denpasar, November 97

Kawindra

Jiwa rahasia jiwa
kembara matahari
kembara jiwa
mematuk-matuk sunyi yasa
cahaya senja semerbak agung

Inilah sajak kawindra
pelipur duka sejahtera
raja duka raja
jelaga hingga taman istana
musuh serta kerabat
lunak dalam bait-bait sajak
luruh dalam pesona Kama dan Ratih
pewaris abadi pecinta agung

Aku akan terus menulis saja-sajakku
di atas karas layar samudra
Jiwa di imbang batu karang
belah duka dari duka
bercinta slaksa jagad rangkang emas

Sajak kawindra
bukanlah sajak pemabuk
meski holon demi holon
tumpah di atas bait suciku
geligis luka geligis jiwa
pecah di atas batu perkasa

Mataram, November'97

Ayahku ( katanya ) seorang pelaut

Tak ada biografi lebih indah selain menutup rapat-rapat setiap sudutnya dari udara kotor. Kilau pelangi yang terbenam di telaga pun tak akan sanggup mewarnai kegelapan dalam ruang biografiku. Dan, riuhnya sekawanan gagak hanya meninggalkan kegaduhan di peralihan musim.

Dan tak lama lagi, musim penghujan bermigrasi membawa semerbak gandum dan aroma ilalang yang kerap membangkitkan kenangan kita pada ladang, gemericik air dan romantisme alam agraris. Juga ribuan, bahkan jutaan serbuk bunga matahari dari arah tenggara menuju benua Asia yang subur dan tanah-tanah perawan yang luas dipenuhi pinus serta jati.

Sementara, di suatu pagi yang tampak biasa-biasa saja, ibu menyajikan abon daging rusa buah tangan ayah selepas berburu di pulau Moyo. Sebuah daratan dekat pelabuhan Alas di Sumbawa Besar. Di mana hewan-hewan terutama kijang menjadikannya sebagai taman surga. Daratan Moyo serta aroma laut kerap membawa ayah untuk berlayar menuju dunia lelakinya. Ibu selalu menutup rapat untuk bercerita tentang ayah. Lukisan realis yang terpampang di dinding bedeg kulit itu ternyata sebagai pemanis. Agar aku tak selalu menangis jika meminta sesuatu atau ingin bertemu ayah. Kadang usahanya meredam tangisku berhasil, namun tak jarang pula gagal. Selebihnya, lukisan itu tetap sebagai lukisan yang terpajang di belakang tempat ibu berdagang. Dan kini, aku baru menyadari bahwa lukisan itu bukan lukisan ayahku. Lukisan itu terpampang pula di berugak Husein ataupun di atas selasar beranda Amar.

Ah.. hangat mentari di sepanjang pantai kerap melarung setiap kenangan kita. Tentang burung camar. Kecipak air di buritan kapal yang merangsang setiap kelenjar otot-ototnya untuk berlayar. Berlayar dan terus berlayar. Tanpa membuang waktu, ia bergegas melanjutkan episode baru dengan kostum ala Peterpan yang konon selalu dilindungi peri-peri cantik dan seksi itu. Di depan matanya terbayang gelombang buas dan ganas. Seperti penghuni semesta biru yang selalu menyimpan misteri. Namun, tak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya.

Kata ayah, kita harus memainkan peran itu dengan baik. Sebab, jika tidak maka kita akan selalu kecolongan dan tak akan pernah mendapatkan point sebagai tiket untuk menuju terminal akhir. Ia juga mengatakan bahwa hidup itu seperti sekeping logam yang kedua sisinya tak dapat dipisahkan. Itulah takdir manusia. Baginya hidup dan mati tak lebih dari sebuah permainan. Atau sebuah jeda untuk mengulur setiap kematian.

Lantas, lelaki itu membuang sauhnya untuk menepi di Tanjung Menangis. Mencari seorang putri yang konon terdampar di lorong-lorong goa yang dingin dan gelap gulita. Orang pesisir pelabuhan Alas menyebut ujung daratan itu Tanjung Menangis. Konon, di ujung daratan itu seorang perempuan muda menunggu dengan setia kedatangan lakinya dari seberang. Singkat cerita, pria idaman yang dinanti-nantinya itu tak kunjung datang. Maka, menangislah ia di bibir pantai sepanjang siang dan malam. Dan, menurut cerita dari para leluhur itu, suara tangis perempuan tersebut menyebar hingga ke seluruh daratan dan pesisir sekitar pelabuhan Alas.

Maka, malam itu, menurut cerita orang-orang pesisir, ayah menyusuri lorong-lorong goa yang gelap dan dingin di Tanjung Menangis. Semua usaha itu tak lebih hanya untuk mencari kepastian apakah cerita itu nyata atau hanya mitos para penduduk di sekitar pulau Sumbawa. Meski ayah telah menginjakkan kakinya di pulau kosong itu, namun, suara rintihannya masih saja terdengar. Orang-orang pesisir tak tahu apa saja yang dilakukan ayah di sana. Apakah ia telah menemukan putri itu atau sedang bertempur habis-habisan melawan raksasa. Bahkan, sebagian orang pesisir (yang mungkin iri kepada ayah) mengatakan bahwa ayah berkonspirasi dengan jin penghuni di sana untuk mendapatkan perempuan lain.

Kata ibu, ayah adalah tipe seorang lelaki sejati. Namun, ibu tak menjelaskan lebih rinci apa yang dimaksud dengan kata sejati itu. Apa yang dilakukan ayah, menurut aku, sangatlah bertentangan dengan apa yang dijelaskan ibu selama ini. Ayah sering melukai hati ibu dengan mempermainkan perasaannya. Bukankah peristiwa di Tanjung Menangis itu sebagai bukti kompensasi ayah sebagai seorang lelaki yang selalu lapar dan haus akan kebutuhan syahwatnya.

Ayah jarang memperhatikanku apalagi mengajakku bertamasya. Di keluarga kami tamasya adalah barang mahal. Sesuatu yang harus dipersiapkan secara matang dengan rapat-rapat yang membosankan anak-anak seusiaku. Tamasya juga merupakan sebuah pilihan yang rumit. Setidaknya selalu terjadi perdebatan antara ayah dan ibu dalam menentukan lokasi maupun jarak yang akan ditempuh serta alat transportasi apa yang akan digunakan. Bagi kebanyakan orang tamasya adalah hal yang menggembirakan. Namun, sebaliknya di keluarga kami tamasya adalah sebuah pekerjaan tambahan di akhir minggu. Para perempuan selalu terjebak dalam kesibukan mempersiapkan perbekalan hingga tengah malam. Dan keesokan harinya kami hanya menemukan rupa-rupa yang lelah.

Pendek kata, tamasya, hanyalah sebatas mimpi belaka. Kata ayah, hidup harus diisi dengan kerja. Bukan untuk bersenang-senang seperti yang dilakukan ambtenar kota. Orang seperti kami tak layak untuk berpikiran seperti itu apalagi untuk bermimpi.

“Bekerjalah. Dengan bekerja pikiran kita jadi sehat. Kerja membuat tubuh kita jadi kuat. Dengan bekerja kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan,” begitu kata ayah menepis harapan orang-orang di rumah.

Tapi suatu malam, mimpi itu datang juga pada akhirnya. Sesuatu yang jauh dari kenyataan dan barang mahal dalam keluargaku. Sesuatu yang sangat rumit dengan tetek-bengek yang membuat ricuh hati.

Dalam mimpi itu, ayah mengajakku bertamasya ke sebuah danau di bawah kaki gunung mati. Dalam waktu singkat kami telah berada di bibir danau yang termangu dalam tafakur yang lama. Sebatangkara di antara ranting-ranting kering. Kelompok batu-batu cadas merah yang masih menyisahkan sedikit kesunyian yang membungkus sekelumit rahasia Tuhan. Ikan-ikan seukuran lengan orang dewasa berlompat-lompatan seakan-akan girang melihat kedatangan kami.

Kulihat ayah mencabik-cabik air bagai naga kecil yang baru kali pertama bertemu alam bebas. Dari lengannya ia lemparkan jala ke tengah danau. Tak berapa lama jala itu telah penuh karper. Ah, tapi mungkin juga bukan, ia lebih menyerupai mujahir. Tapi barangkali juga bukan keduanya, karena secara jujur aku kurang paham dengan baik jenis-jenis ikan baik tawar maupun laut.

Kemudian ia mengajarkan kepadaku bagaimana caranya seorang pelaut mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan perlengkapan kapal. Tangannya seolah-olah sedang mengenggam tali gadung dan mengikatkan pada tiang layar. Tentu saja, walau dalam mimpi, aku menolak untuk diajak berlayar.

“Ayolah, ini hanya permainan. Nggak berbahaya. Kalau kamu ingin jadi seorang lelaki sejati kamu harus berani menyeberangi lautan yang luas dan biru,” bujuk ayahku.

Namun, aku menolak sewaktu tangannya terus mendesak tubuhku. Aku menangis. Aku kira itulah proteksi teraman dari orang yang lemah terhadap keinginan dan paksaan seseorang yang mempunyai kekuasaan. Tapi yang terjadi pada ayahku justru sebaliknya. Semakin keras tangisku semakin giranglah ia dalam usahanya mengajakku untuk merenangi danau luas dan biru serta gelap. Nampaklah ia semakin gemas dan riangnya mempermainkan diriku diiringi tawanya yang memenuhi seluruh ruang mimpiku.

Aku meronta. Lengan ayah semakin kuat. Seluruh otot-otot tangannya berkelejatan di bawah sinar matahari. Secara refleks kedua tangannya membungkam serta meredam seluruh nyaliku. Ayah tertawa terpingkal-pingkal. Kapal kami limbung. Dan perahu kami terus semakin ke tengah diiringi tawa ayah yang saling berpantulan di dinding-dinding batu.

“Berhentilah menangis! Sekarang kita berdua berlayar menuju dunia lelaki. Mereka saksi bahwa kita berdua adalah lelaki sejati yang pantang menyerah pada keadaan yang paling gawat sekalipun. Kamu harus kuat. Kamu harus berani, nak. Di dunia ini yang sanggup bertahan hidup hanya lelaki yang kuat dan berani. Alam menyeleksi seluruh isi bumi. Ayo! Tunjukkan pada bapakmu bahwa kamu adalah anak yang kuat dan berani!” ia berhenti ketawa. Jari telunjuknya menunjuk ke birunya air danau. Waktu seakan mandek. Sekumpulan mega tampak tak bergerak.

Dinding batu membeku. Wajah danau membisu. Pohonan meranggas di atas batu-batu cadas. Tak ada apa-apa lagi yang tersisa setelah itu. Yang terdengar hanya kecipak air di bibir perahu. Aku masih di ujung kecemasan. Matahari tak nampak dalam mimpiku. Yang terasa hanya kehangatannya yang asing merambat perlahan-lahan ke dalam lubang pori-poriku.

“Kenapa diam saja! Anakku tak pernah diam apalagi membisu seperti arca. Apa kau sudah tuli dan bisu sehingga tak lagi mendengar setiap kata-kataku. Kenapa, kenapa kamu diam saja! Jangan bersikap tolol seperti itu. Mereka akan mentertawai sikapmu. Seluruh isi alam mencari setiap tindakan lelaki yang banci dan ragu-ragu.

Sekarang, aku yakin bahwa kamu bukan anakku. Mereka benar. Orang-orang pesisir itu bilang, kamu anak haram! Mereka juga bilang, bahwa ibumu tak lebih dari pelacur murahan. Barang dagangannya memang selalu laris manis. Pajangan spesial untuk para pelaut sejati semacam aku. Sekarang, enyahlah kamu dari perahuku!” tanpa buang waktu kedua lengannya yang perkasa mengangkat tubuhku dan melemparkannya ke udara. Dinding-dinding langit pecah berserakan mengenai tubuhku. Aku terjatuh ke lantai yang dingin dan lembab.

Ibu terbangun, terkejut melihat aku terjatuh dari tempat tidur. Segera ia membantuku berdiri dan kembali ke ranjang untuk tidur kembali. Hingga keesokan harinya aku hanya diam saja tak berani untuk menceritakan mimpi semalam kepada siapapun, tak terkecuali ibu.

Apa yang sedang terjadi pada ayah sebenarnya? Apakah ia sedang berencana hendak membunuhku? Namun setelah peristiwa semalam ayah tak pernah lagi tampak. Aku juga tak bertanya apa-apa kepada ibu. Ia juga hanya diam dan bekerja di warung kopi seperti biasanya.

***

Jerit weker pagi buta kerap memaksa jantungku bekerja lebih aktif. Aku bergegas melawan kecepatan matahari. Meski akhirnya aku selalu kalah. Dan matahari selalu menang. Ha.. ha.. ha..! Dengarlah, ia mentertawakan diriku. Ia tak perlu membuka matanya lebar-lebar. Karena jawabannya sudah pasti. Aku selalu terlambat masuk sekolah. Kerap menerima hukuman berdiri dengan kaki sebelah di depan papan tulis.

Namun, pagi ini matahari nampak lesu dan tak bersemangat untuk diajak berpacu. Mendung memayungi seluruh daerah pelabuhan. Sekawanan burung-burung entah dari mana terbang di atas gudang beras dan berlalu entah kemana. Wajah para buruh nampak riang sekali menyambut datangnya hujan. Itu artinya mereka tak akan bekerja di bawah sengat matahari yang tajam seakan-akan hendak merobek kulit. Mereka menari-nari di depan truk-truk yang akan mengangkut beras ke luar pelabuhan.

Gerimis mulai membasahi bongkah-bongkah tanah kami yang kering dan hitam. Hililintar kambuh marahnya dan ia tumpahkan ke segala sudut penjuru dunia. Para ibu sering menakut-nakuti anak-anaknya dengan bercerita, “Halilintar tak akan pernah punya sepasang matanya. Itu adalah kutukan para dewa karena sifatnya yang kurang terpuji. Sering naik pitam dan emosinya sulit dikontrol. Maka, jika hujan turun siang hari, halilintar akan membakar kedua matamu. Ia telah berjanji untuk membalas kutukan para dewa kepada setiap isi bumi…” Sejak mendengar nasehat itu kami merasa selalu dipantau dan diawasi setiap gerak-gerik kami. Walaupun sudah di atas ranjang kedua mata kami sulit terpejam membayangkan kemarahan halilintar.

Saat gerimis mulai turun aku dan kawan-kawan berlarian mencari tempat untuk berlindung. Suara halilintar mulai bersahut-sahutan laksana pesawat jet tempur yang sedang melakukan terbang rendah dengan kecepatan yang sangat tinggi.

“Apa yang sedang terjadi di atas sana?” tanya kawanku.

Aku hanya diam. Memandangi langit yang tampak gelap dan sesekali robek oleh jari-jari halilintar.

“Tuhan murka. Ini bukti nyata bahwa kita sudah melupakan seluruh kebaikan Tuhan. Musim kemarau yang panjang adalah bukti lain, tetapi muka kita sudah seperti badak. Tebal muka. Pohon-pohon ditebang seenak udelnya hanya untuk kepentingan diri sendiri tanpa memikirkan nasib masa yang akan datang. Ada juga yang doyan membakar untuk membuka lahan baru. Membangun rumah atau menanam kacang hijau, setelah bosan pindah dan membakar lagi hutan yang lain. Ini sudah benar-benar keterlaluan!” jelas temannya sedikit emosi.

Aku masih terdiam. Langit tak menunjukkan tanda hujan akan reda.

“Ya. Aku yakin Tuhan marah. Ia pasti juga marah kepada lelaki yang tidak punya tanggungjawab dan belas kasihan terhadap perempuan. Terlebih-lebih perempuan itu istrinya sendiri. Bukankah para wanita di pelabuhan selalu menjadi pecundang para nahkoda dan pelaut iseng. Mereka jadikan para wanita seperti ladang liar yang bebas digarap siapa saja. Apakah kelak jika kita menjadi seorang pelaut kita akan memperlakukan para wanita seperti yang mereka lakukan terhadap ibu kita?” tanya rekannya yang satu semakin gusar.

Aku menggelengkan kepala. Pandanganku jatuh ke tanah yang mulai basah.

“Aku kurang begitu yakin. Hanya saja aku tak ingin menjadi seorang pelaut aku ingin menjadi seorang guru,” jawabku sekenanya.

“Mungkin kalian benar. Tuhan sedang marah, tapi aku tidak tahu kepada siapa. Mungkin kepada para tuan tanah yang kikir dan sombong,” imbuh seseorang di sebelahkan tak mau kalah.

Jawaban itu mengingatkanku peristiwa dua hari lalu. Ketika kami sedang melintasi sepetak tanah yang dirimbuni tumbuhan kacang panjang. Karena lapar kami memetik apa saja yang bisa dimakan. Nah, saat itu pula seorang lelaki berjanggut putih dengan wajah berkeriput menghardik kami dengan mengacung-acungkan sebilah badik seukuran lengan orang dewasa. Melihat badik yang mengkilap itulah kami lari tunggang-langgang. Berhamburan seperti kelereng yang terjatuh dari sebuah meja kayu di atas lantai.

“Anak setan, jangan lari kamu!” maki si orang tua sembari berkacak pinggang.

Namun, sedikitpun kami tak berani menoleh ke belakang. Kami terus berlari mencari tempat paling aman. Dan pondok tempat kami berteduh saat ini adalah tempat yang paling aman dan tak mungkin terlintas dalam pikirannya bahwa kami akan bersembunyi di situ. Di samping letaknya yang jauh dari tanah miliknya, pondok ini berdampingan dengan kuburan. Menurut orang-orang pesisir, kuburan itu sudah lama tak dipakai sejak Belanda kalah melawan Jepang. Kata orang, orang-orang komunis konon, juga dibantai secara massal di situ. Sehingga, kuburan itu terkesan angker.

Saat berjongkok menatap gerimis pandanganku nanar ke arah yang sangat kelabu. Gerimis itu seakan-akan membentuk tirai berlapis-lapis. Dan di balik lapis-lapis itu aku mendengar alunan senandung yang entah berasal dari mana. Ia seperti sedang menawarkan sesuatu yang indah dan memabukkan.

Aku tergoda. Terbuai. Tanpa kusadari kedua kakiku menyeretku turun dari pondok dan selanjutnya berlari menembus tirai-tirai kelabu itu. Alunan nada itu terus menjalari seluruh jaringan otakku. Aku berlari sekencang badai taufan yang memporak-porandakan seluruh kota-kota tua di Mexico. Kedua kakiku bergerak bagai tentara Spartha yang mengamuk di depan benteng musuh serta meluluhlantakkan sebaris konvoi pasukan berkuda dengan seragam yang gagah.

“Lihat ayah, kini aku kuat dan tegar! Di matamu aku memang lelaki pecundang. Tapi, aku bukan lelaki lemah! Kini, badai takkan mampu menghadang setiap langkahku..” udara beku menyelimuti seluruh tubuhku yang ringkih. Suara gelombang laut mendesir selintas menggemuruhi kedua telingaku. Tubuhku serasa terbang melintasi seluruh dataran. Dari yang paling tinggi hingga paling curam.

Lumpur basah tercerabut dan terhempas berserakan ke masa laluku. Aku tak peduli bahkan aku semakin kesetanan menembus setiap tirai di depanku. Satu lapis telah kulewati. Namun, di depan telah menunggu berlapis-lapis tirai. Aku berlari dan terus berlari menembus lapis berikutnya. Semakin kudekati suara itu bagai mengajakku untuk menari sebuah ritus kematian.

Mendadak tak jauh di depanku aku melihat sosok ayah dan ibu berdiri di balik tirai hujan. Mereka diam di situ dan hanya memandang dengan perasaan hampa. Ibu melambai-lambaikkan tangannya kepadaku. Sementara ayah berkacak-pinggang sembari melengos di belakang tubuh ibu.

Aku mencoba berdiri namun kedua kakiku seperti benang basah yang semakin tertanam jauh ke dalam lapisan bumi. Aku panggil ibu sekali lagi dengan suara yang lebih lantang. Namun, yang terdengar hanya hardik halilintar. Gerimis lambat laun semakin jauh dan terus menjauh dari pendengaranku.

Facebook Twitter RSS