Diposting oleh
R.Eko Wahono
29 November 2009 at 11.21.00
0
komentar
Labels :
Puisi
Tuan-tuan yang terhormat
Kita berkumpul disini,
Semata-mata karena harapan
seperti tuan-tuan kehendaki secara alami
Harapan baik dan sejahtera
harapan umat manusia.
Saya hadir disini,
mewakili segenap perasaan, bakat dan indera
Sebagai tumpuan keselarasan alam semesta.
Ketahuilah tuan-tuan,
Di tanah tempat kita pijak
banyak orang datang dan pergi
semuanya berubah dengan pasti
siklus alam pancaroba
matahari setia di garis edarnya
hanya sengatnya yang kian tajam
Merubah perangai manusia dan alam
pepohonan meranggas...
perkebunan dan hutan sistem okupasi
semakin buas...
truk dan buldozer merayap ganas
membuka ladang-ladang baru
harapan hidup baru
orang kaya baru
Tuan-tuan pun telah tahu
negeri tempat kita pijak
cukup tehormat di mata dunia
ramah terhadap bangsa asing
namun gagal mengurus hak-hak nya
rasa ingin tahu di bonsai
compang-camping cara pikirnya
di batasi dalam kepintaran
Tetapi para pemimpin kami tetaplah terhormat
dan bangsa kami di kenal di seluruh dunia.
Barangkali cara pikir ini cukup melelahkan
tiga ratus lima puluh tahun tertindas
tapi mereka masih bisa tersenyum
potret kelam sepanjang sejarah
dokumen niaga ahli sejarah
Para petani masih juga keloni derita
sawah dan ladang jadi mimpi gelisah
mereka sibuk layani proyek amtenar kota
menginjak nasib petani di himpit resah
senyum eksportir semakin genit
cumbui gelombang industri pariwisata
tanah petani semakin sia-sia
Apakah asap kiriman Sumatra dan Kalimantan
potret sebenarnya ?
seperti nasib sequisa raksasa
etalase hutan mariposa
musim dan cuaca tergantung lobi kekuasaan
hutang luar negeri jadi imbangan
pemikir ekonomi digerus kecemasan
sementara solusi mereka
diselenggarakan rapat dewan kota yang terhormat
Kaum agraris hanya mampu
menatap awan
menatap kekosongan
yang bagi mereka tak berarti apa-apa
kecuali...
udara
mega-mega
sekelompok burung gereja
mencari rumahnya
Mataram, November 1997
Diposting oleh
R.Eko Wahono
at 11.00.00
Labels :
Puisi
Karena engkau perempuan,Sri
maka aku terbujur
sepi..
lusuh....
Di ranjangmu berbau mimpi
kau renda malam
merajut masa silam
pahamu yang putih kau singkap
aku karam ke dasar sukmamu
Engkau bicara kasmaran
saat dosa bukan bagian dari rencana
ketidakberdayaan jiwaku tergadai
di atas ranjang gemerincing
lembaran-lembaran abad yang resah
keberuntungan dan bencana
teka-teki dunia
harapan negeri dongeng
Ya...ya...ya...aku tahu
setiap malam selalu kau tawarkan tembang lawas
ujung dari segala dahaga dunia
aku rengkuh demi penciptaan jiwa
desahmu bagai unggas betina
aku bagai serigala kelaparan
kau bakar
Di bawah bulan ku tutupi ketidakmampuan
senggamai peradaban
bermain cinta semalam suntuk
atau membuktikan bahwa cuaca
hari ini lebih baik ketimbang kemarin
Inilah kenyataannya,Sri
kenapa ketidakbedayaanku rebah
di sisi malam yang mempertautkan kita
meski tak saling kenal
Pertemuan ini bagai pertanyaan Resi Bisma
pada baik dan bathil
lantas apa bedanya?
belantara manusia tetap belantara kata-kata
yang akan terus mencari majikannya.
Karena engkau perempuan,Sri
saku jiwaku yang kian hampa
dinding bathinku tak berdaya
intuisiku membentur lemari pejabat dan arsip-arsip butut
asesoris setiap kebijaksanaan mereka
jantungku berserakkan di pasar loak
di tikam peradaban
ekonomi masih menjadi panglima
mereka berburu kepuasan di padang serigala
mereka berkejaran
Mengejar...
Bikinlah mereka terpana
tubuhmu mampu bersaing dengan pemodal asing
pasang tarip lantas kau senggol ekspor non migas
kayu jati tersipu dengan pinggulmu yang kencang
bikinlah pamor kaum agraris
cuaca yang cerah semerah bibirmu
geser citra non migas dan kayu jati sebagai komoditi
Dunia pasti terpana
terus terpana..
Denpasar, November 97
maka aku terbujur
sepi..
lusuh....
Di ranjangmu berbau mimpi
kau renda malam
merajut masa silam
pahamu yang putih kau singkap
aku karam ke dasar sukmamu
Engkau bicara kasmaran
saat dosa bukan bagian dari rencana
ketidakberdayaan jiwaku tergadai
di atas ranjang gemerincing
lembaran-lembaran abad yang resah
keberuntungan dan bencana
teka-teki dunia
harapan negeri dongeng
Ya...ya...ya...aku tahu
setiap malam selalu kau tawarkan tembang lawas
ujung dari segala dahaga dunia
aku rengkuh demi penciptaan jiwa
desahmu bagai unggas betina
aku bagai serigala kelaparan
kau bakar
Di bawah bulan ku tutupi ketidakmampuan
senggamai peradaban
bermain cinta semalam suntuk
atau membuktikan bahwa cuaca
hari ini lebih baik ketimbang kemarin
Inilah kenyataannya,Sri
kenapa ketidakbedayaanku rebah
di sisi malam yang mempertautkan kita
meski tak saling kenal
Pertemuan ini bagai pertanyaan Resi Bisma
pada baik dan bathil
lantas apa bedanya?
belantara manusia tetap belantara kata-kata
yang akan terus mencari majikannya.
Karena engkau perempuan,Sri
saku jiwaku yang kian hampa
dinding bathinku tak berdaya
intuisiku membentur lemari pejabat dan arsip-arsip butut
asesoris setiap kebijaksanaan mereka
jantungku berserakkan di pasar loak
di tikam peradaban
ekonomi masih menjadi panglima
mereka berburu kepuasan di padang serigala
mereka berkejaran
Mengejar...
Bikinlah mereka terpana
tubuhmu mampu bersaing dengan pemodal asing
pasang tarip lantas kau senggol ekspor non migas
kayu jati tersipu dengan pinggulmu yang kencang
bikinlah pamor kaum agraris
cuaca yang cerah semerah bibirmu
geser citra non migas dan kayu jati sebagai komoditi
Dunia pasti terpana
terus terpana..
Denpasar, November 97
Diposting oleh
R.Eko Wahono
at 10.52.00
Labels :
Puisi
Jiwa rahasia jiwa
kembara matahari
kembara jiwa
mematuk-matuk sunyi yasa
cahaya senja semerbak agung
Inilah sajak kawindra
pelipur duka sejahtera
raja duka raja
jelaga hingga taman istana
musuh serta kerabat
lunak dalam bait-bait sajak
luruh dalam pesona Kama dan Ratih
pewaris abadi pecinta agung
Aku akan terus menulis saja-sajakku
di atas karas layar samudra
Jiwa di imbang batu karang
belah duka dari duka
bercinta slaksa jagad rangkang emas
Sajak kawindra
bukanlah sajak pemabuk
meski holon demi holon
tumpah di atas bait suciku
geligis luka geligis jiwa
pecah di atas batu perkasa
Mataram, November'97
Langganan:
Postingan (Atom)